BBONENEWS, Magelang– Fenomena post-truth, di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih dominan dibandingkan fakta objektif, semakin terasa dalam ajang Pilkada Magelang. Masyarakat dihadapkan pada arus informasi yang beragam, mulai dari berita palsu hingga klaim bombastis yang belum tentu memiliki dasar. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemilih untuk tetap cerdas dan kritis dalam menentukan pilihan.
Beberapa bentuk post-truth tampak nyata di Pilkada Magelang, salah satunya adalah penyebaran hoaks atau informasi yang menyesatkan mengenai calon bupati. Tanpa bukti yang valid, sering kali rekam jejak atau bahkan kehidupan pribadi kandidat disorot secara negatif. Informasi yang menyudutkan ini biasanya menyebar melalui media sosial dan grup percakapan yang menyasar pemilih di berbagai lapisan masyarakat. “Padahal, berita seperti ini bisa berbahaya dan tidak adil bagi calon serta menyesatkan pemilih,” ujar Mbah Roso seorang pengamat politik lokal.
Selain itu, penggunaan isu agama dan budaya lokal untuk meraih simpati juga kerap dimanfaatkan. Di Magelang, wilayah dengan ikatan sosial yang kuat terhadap nilai-nilai keagamaan, isu ini dapat menimbulkan reaksi emosional. Beberapa narasi yang beredar menciptakan kesan bahwa calon tertentu “tidak pro-Islam” atau “tidak peduli dengan tradisi,” meskipun tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung klaim tersebut. Pendekatan ini berisiko merusak kohesi sosial, terutama ketika isu tersebut diangkat tanpa dasar yang objektif.
Fenomena lain adalah janji kampanye yang bombastis. Beberapa kandidat memberikan janji besar dengan skala yang sulit direalisasikan, seperti pembangunan infrastruktur masif, janji beasiswa pendidikan yang bombastis, atau janji pelayanan kesehatan yang muluk muluk atau program ekonomi yang ambisius, namun tanpa perincian perencanaan atau sumber dana yang jelas. Janji semacam ini mengandalkan emosi dan harapan pemilih, namun dapat memunculkan kekecewaan besar jika tidak terealisasi.
Bahkan survei atau data hasil polling juga bisa dimanipulasi untuk menggiring opini publik. Tak jarang, muncul hasil survei yang menunjukkan kandidat tertentu unggul jauh, meskipun kredibilitas data tersebut meragukan. Data manipulatif seperti ini bisa menciptakan efek bandwagon, di mana pemilih cenderung memilih kandidat yang “nampaknya” sudah menang, terlepas dari program dan kualitasnya.
Terakhir, taktik menyebarkan narasi ketakutan juga muncul, misalnya dengan klaim bahwa “kondisi akan buruk” jika kandidat lawan menang. Strategi ini memanfaatkan ketakutan pemilih dengan memainkan isu keamanan atau ancaman ekonomi, meskipun tidak didukung oleh fakta.
Bagi pemilih Magelang, mengenali fenomena *post-truth* ini penting agar tidak terjebak dalam ilusi dan emosi. Kampanye yang sehat seharusnya didasarkan pada data dan program yang terukur, bukan pada manipulasi perasaan atau berita palsu. Dengan menjadi pemilih yang cerdas dan kritis, masyarakat Magelang bisa berperan menjaga kualitas demokrasi dan memilih calon pemimpin yang benar-benar kompeten serta berintegritas.
Aris Munandar
Pengamat politik Nasional